Serbuk-Serbuk Kopi (1)
Awan gelap mulai minggir dari
kahyangan, berganti mentari yang telah absent
beberapa hari belakangan ini. Canna mengaduk-aduk kopi yang ada di depannya
dengan tak karuan, sampai-sampai ia lupa menuangkan gula ke cangkir kopi nya.
Dengan setengah sadar dan tatapan kosong ia menyeruput kopi nya dengan jumlah
banyak,
“HIAKS!” Gerutunya kencang
sampai-sampai kopi nya tumpah hampir setengah dan membentuk noda di celana
katun putih yang ia kenakan
Kopi excelsa yang pahit itu ia
minum begitu saja tanpa gula, hingga tenggorokannya terasa sepat sekali,
cepat-cepat ia menuangkan se-sachet palm sugar ke cangkirnya dan kembali
meminumnya demi mengusir rasa pahit yang kini telah menjalar sampai lambung nya.
Beribu-ribu masalah mewarnai otak
nya, sudah tak ada lagi yang bisa ia percaya, bahkan suaminya sendiri sudah
tidak mendukung perjalanan karier nya yang sedang dalam masa keemasan. Entahlah
harus kepada siapa lagi Canna bercerita, rasanya hidupnya sedang dalam
perjalanan pahit, lebih pahit daripada secangkir kopi excelsa tanpa gula.
Mata nya menatap jendela café yang langsung berhadapan dengan
jalanan ibu kota Jakarta yang memang tidak pernah tertidur. Lingkaran hitam
mulai terlihat di bawah mata Canna yang berbola mata coklat terang itu. Canna
menarik nafas nya dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan berharap segala
beban yang ada dihatinya ikut pergi keluar bersama karbondioksida yang ia
buang. Nyata nya hanya kegeraman yang ia dapat.
Canna tak habis fikir, kenapa suaminya tiba-tiba melarang nya menghadiri seminar kopi internasional yang diadakan di Brazil, toh kalau masalahnya soal biaya, perusahaan Canna menanggung semua biaya akomodasi, transportasi bahkan Canna akan mendapat uang saku. Dengan menghadiri seminar internasional, tentunya Canna akan mendapatkan ilmu baru dan pasti mendapatkan relasi baru yang bisa menunjuang karier nya di masa mendatang. Beribu alasan dan permohonan sudah ia luncurkan demi mendapat izin dari suaminya, namun tetap saja kata “tidak” yang keluar dari mulut suaminya. Silat lidah yang terjadi semalam membuat Canna enggan berbicara dengan Aryo sampai beberapa hari kedepan.
Canna tak habis fikir, kenapa suaminya tiba-tiba melarang nya menghadiri seminar kopi internasional yang diadakan di Brazil, toh kalau masalahnya soal biaya, perusahaan Canna menanggung semua biaya akomodasi, transportasi bahkan Canna akan mendapat uang saku. Dengan menghadiri seminar internasional, tentunya Canna akan mendapatkan ilmu baru dan pasti mendapatkan relasi baru yang bisa menunjuang karier nya di masa mendatang. Beribu alasan dan permohonan sudah ia luncurkan demi mendapat izin dari suaminya, namun tetap saja kata “tidak” yang keluar dari mulut suaminya. Silat lidah yang terjadi semalam membuat Canna enggan berbicara dengan Aryo sampai beberapa hari kedepan.
“Kepercayaan Pak Barli akan
mendapat penolakan besar, betapa belagunya aku menolak kesempatan emas seperti
ini….” Oceh Canna sambil mengambil ballpoint dari tas nya dan berniat
menandatangani surat keberatan untuk menghadiri seminar.
Namun hati Canna masih berat untuk
membatalkan rencananya ke Brazil, akhirnya ia memasukkan kembali ballpoint nya.
Tiba-tiba matanya menangkap lambaian tangan seorang wanita berbaju pink lembut
dan sepertinya Canna mengenali wanita itu, Adel, ya Adel. Mantan pacar suami
nya yang terkenal cantik dan bawel.
“Astaga, cobaan apalagi ini..”
Lontar Canna yang tanpa ia sadari membuat muka nya yang polos itu berubah
menjadi kesal, seluruh otot mukanya seperti tertarik kebawah, namun Canna
menyadari dengan cepat ekspresi menyebalkan yang ia tunjukan dengan segera ia
menarik senyum dengan terpaksa dan membalas lambaian tangan Adel. Dan benar
saja, Adel datang menghampiri nya.
Jabatan tangan antara Canna dan
Adel pun terjadi, disertai dengan bertemunya kedua pipi mereka. Lalu Adel mengambil
posisi tepat di meja yang sama dengan Canna, dan ia duduk berhadapan dengan
Canna sekarang. Cappuccino dipilih Adel tanpa ragu, lalu Adel
mulai membuka percakapan tanpa canggung.
“Hai Canna, makin cantik aja deh
kamu. Lagi sibuk apa nih?” Tanya Adel sambil memandang Canna dengan tatapan sedikit
meledek
“Hmmmm, makasih.. Aku sih ga sibuk-sibuk
amat, dan masih jadi Q grader di
perusahaan kopi terbesar di Indonesia.” Jawab Canna dengan senyuman tajam
“Oh ya? Mungkin maksud kamu di
Coffee Royal Nusantara?” Tanya Adel kembali sambil menerima secangkir Cappuccino yang tadi ia pesan
Canna agak tercengang dengan
pertanyaan Adel, ternyata setelah beberapa lama tak bertemu kecerdasan Adel
telah melonjak tajam, bahkan ia tau persis perusahaan kopi yang Canna maksud, ditambah jenis pesanan Adel yang sudah agak naik kelas.
Adel merupakan sosok wanita manja dan bahkan bisa dikatakan otak udang, lantaran sedikit sekali pengetahuan umum yang ia tau, ia hanya tau harga barang-barang branded yang ia incar untuk dijadikan koleksi di kamarnya.
Adel merupakan sosok wanita manja dan bahkan bisa dikatakan otak udang, lantaran sedikit sekali pengetahuan umum yang ia tau, ia hanya tau harga barang-barang branded yang ia incar untuk dijadikan koleksi di kamarnya.
“Iya kan, Can? Aku kerja di sana
juga, tapi belum mulai. Mungkin Rabu ini aku mulai kerja. Dan aku ada di bagian
R grader.” Ucap Adel santai lantaran
ia tau bahwa Canna akan merasa tersaingi
“WHAT?” Canna kali ini lebih-lebih
tercengang, seperti ada ribuan batu menujam dirinya. Bagaimana bisa Adel berada
di posisi yang sama dengan diri nya. Canna benar-benar tidak percaya. Namun ia
tau bagaimana menghadapi Adel, Canna mencoba menutupi semua kerisauan dan
kesal yang ia alami.
“Kenapa, Can?” Tanya Adel
“Oh, haha.. Ga apa-apa kok. Wah
hebat ya, kamu baru kerja udah dapet posisi R
grader. By the way sejak kapan kamu suka kopi?” Tanya Canna yang mencoba
bersikap sewajarnya
“Hmm… sejak aku tau kalau banyak
sekali laki-laki yang tertarik kepada seorang grader ….” Jawab Adel sambil menyeruput kopi yang masih hangat itu
“Hah?” Canna bereaksi seadanya,
ternyata Adel masih belum berubah, ia melakukan sesuatu bukan berdasarkan
hatinya, namun ia hanya mengharapkan impression
dari orang lain. Entahlah, Canna semakin melihat kecantikan yang ada pada
Adel luntur begitu saja akibat hal-hal bodoh yang Adel lakukan.
“Ya bukan itu aja sih, Can. Aku
suka kopi karena sering liat kamu racik kopi ataupun cupping. Udah gitu aku liat prospek kedepannya jadi R grader juga cukup cerah kok, jadi aku
pilih jalan ini….” Balas Adel
Jawaban Adel yang terakhir membuat
Canna semakin gerah, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke tempat lain demi
meredakan emosinya.
“Del, sorry nih, aku ada urusan. Jadi duluan ya..” Ucap Canna selantang
mungkin agar terlihat seperti wanita karier sibuk nan sukses
“Oh, gitu ya. Kamu Q grader yang sibuk ya ternyata. Semoga
aku bisa jadi seperti kamu ya, mohon bantuannya ya, aku kan anak baru. Ya
sudah, hati-hati Canna. Sampai bertemu hari Rabu di kantor.” Ucap Adel
“Di kantor….. Di kantor…. Apa yang
barusan ia bilang…. Kita akan se-kantor… Mimpi buruk yang baru telah datang…
Bantuanku.. Apa dia bilang? Ia menginginkan bantuanku? Jangan harap!” Gerutu
Canna dalam hati nya
Tanpa membalas ucapan Adel yang
memang menyulut emosi Canna, kaki ramping itu menggeloyor keluar café , dengan arah sembarangan Canna
melangkah, entahlah kemana ia akan menepi. Yang jelas Canna harus pergi menjauh dari café bernuansa vintage yang menawarkan kesejukan namun tiba-tiba mendadak panas karena kehadiran parasit besar yang selama ini menjadi mimpi buruk Canna.
Matahari terasa memberikan seluruh energi nya untuk Jakarta pada siang itu, Canna sampai-sampai tidak kuat untuk berjalan ke halte busway yang hanya berjarak 500 meter dari café. Sampai akhirnya ia memberhentikan taxi eksklusif warna hitam, namun sepertinya penglihatannya melakukan kesalahan yang fatal. Mobil hitam sedan mengkilap itupun berhenti tepat didepan Canna, tanpa ragu Canna membuka pintu taxi dan memilih duduk di kursi belakang.
Matahari terasa memberikan seluruh energi nya untuk Jakarta pada siang itu, Canna sampai-sampai tidak kuat untuk berjalan ke halte busway yang hanya berjarak 500 meter dari café. Sampai akhirnya ia memberhentikan taxi eksklusif warna hitam, namun sepertinya penglihatannya melakukan kesalahan yang fatal. Mobil hitam sedan mengkilap itupun berhenti tepat didepan Canna, tanpa ragu Canna membuka pintu taxi dan memilih duduk di kursi belakang.
“Thamrin” Ucap Canna singkat
“Siap, Nona” Jawab supir di depan
Canna sedikit menaikan alisnya,
tangannya menyentuh tumpukan kertas dan map kertas yang berceceran di jok mobil sebelahnya, matanya mulai
menyusuri dashboard mobil yang ia
tumpangi, ia menyadari tidak ada identitas supir bahkan argo, tampak seperti
mobil pribadi, harum nya pun tidak seperti taxi eksklusif yang ia sering
tumpangi, wangi harum kayu manis lembut sampai di hidung nya.
Canna mulai panik, ia baru
menyadari bahwa yang ia berhentikan bukanlah taxi. Ini bukan kendaraan umum,
tapi ini mobil mewah pribadi.
“Duh, Mas, maaf. Maaf sekali, maaf
atas kelancangan saya. Saya turun disini aja, Mas. Maaf” Kata-kata maaf
melontar begitu saja dari mulut Canna, rasa malu yang ia rasakan membuat
otaknya tidak bisa berfikir secara jernih lagi. Rasanya Canna ingin melemparkan
dirinya sendiri jauh-jauh kedalam samudra Pasifik, sampai tidak ada orang atau
bahkan mahluk hidup yang dapat melihatnya.
“Kemana Nona? Thamrin?” Tanya supir
di depan sambil di iringi tawa renyah
Canna mulai memproses suara yang
baru saja ia dengar, dan suara itu tidak asing di telinga nya, sampai beberapa
detik akhirnya Canna mampu mengenali suara itu..
(Lanjut di Serbuk-Serbuk Kopi 2 ya gengs)
Komentar
Posting Komentar