“Tapi sekarang milik asing”
Mentari bersinar tak terlalu terik, bahkan sedikit gerimis
pada saat perahu nelayan yang ku tumpangi (lebih tepatnya disewa) bulan April
lalu membelah perairan di kepulauan Karimun Jawa, Jepara. Namun kenyataan lah
yang mampu membakar ku hingga memerah dalam jiwa. Pedih, geram.
Indonesia, bumi Pertiwi, yang dicintai dan dibanggakan. Apakah
dirimu terlalu luas? Atau jumlah penduduk mu masih kurang banyak untuk menjaga
atau setidaknya memanfaatkan apa yang kau punya sampai-sampai harus terurus
atau lebih pantas dibilang terambil oleh pihak asing?
Perairan yang tenang ini memang buruk jika dijadikan tempat
untuk berselancar, sampai-sampai orang
Karimun Jawa berkata “pergilah ke Mentawai jika ingin surfing”, namun sangat
indah dan tepat jika dijadikan untuk tempat diving, snorkeling dan ramah untuk
anak-anak Anda. Ombak yang lembut kerap menyapa di pinggir pantai.
Kapal nelayan ini membawaku terus maju kedepan, bahkan aku
tidak tau kemana kapal ini akan berlabuh yang jelas sang kemudi menjanjikan ku
dengan kawan-kawan pantai pasir putih bersih, tenang dan sunyi ditambah
lengkungan pohon kelapa yang erotis saat tertempa cahaya matahari yang
tenggelam.
Sepanjang perjalanan terombang-ambing dan tidak jelas
(setidaknya bagiku yang tak tau arah), kedua orang awak kapal terus
menceritakan banyak cerita legenda, mitos sampai fakta-fakta mengerikan (entah
kata apalagi yang cocok untuk fakta yang satu ini).
Mulai dari cerita-cerita legenda tentang ditemukannya pulau
Karimun Jawa oleh salah seorang sunan (kalau aku tidak salah ingat). Lalu
menyambung ke cerita horror tentang lelaki tua bercaping yang kerap muncul
ditengah perairan karimunjawa dan sering terlihat oleh nelayan yang melaut saat
malam Jumat.
Aku hanya mengangguk entah mengerti atau tidak bahkan saat
ini akupun tidak hafal betul alur cerita yang diceritakan kedua awak kapal
tersebut. Mata ku sesekali menangkap terumbu karang berwarna warni yang
tingginya mencapai 8 meter dibawah permukaan laut.
Cerita-cerita yang dilontarkan oleh kedua awak tersebut
disimak dengan antusias oleh beberapa temanku bahkan mereka mempercayainya,
namun sulit untukku. Tak masuk akal dan logika, baru akan ku percayai nanti..
saat aku benar-benar melihat bukti nyatanya.
Namun akhirnya ada kalimat yang
mampu membuat kepala ku mengarah pada kedua awak kapal tersebut, menatap tajam
arah telunjuk mereka.
“Dahulu, pulau itu dihuni penduduk asli sini, Mbak. Tapi
sekarang milik asing. Padahal indah loh, ada kura-kura, terumbu karang nya
top pokok e” Ucap salah satu awak kapal yang belum menyebutkan nama sedari aku
menyewa kapal ini
“Pak Irfan, kenapa dilepas tanah nya?” Tanya ku yang baru saja
mengetahui namanya dari sablonan pundak dibajunya. Entahlah namanya atau bukan,
bisa saja itu baju kesebelasan timnas (Irfan Bachdim). Ah entahlah, aku tidak
mau ambil pusing.
“Karena dibeli dengan harga tinggi, Mbak. Jadi yo dijual
sama yang punya tanah. Ndak mikirin nasib anak cucu, cuma mentingin uang yang buat
sementara” Jawab Pak Irfan tanpa protes atas nama yang ku tebak-tebak dari
sablonan bajunya, mungkin memang namanya Irfan.
“Ah, Cuma satu pulau yang dibeli, kan masih banyak pulau
lain yang masih milik orang Karimun Jawa.” Celetuk ku memancing tanggapan dari
Pak Irfan
“Beda Mbak, dulu saya pernah ke sana (Pulau yang sekarang
dimiliki asing) sekali, wong kayak di surga! Ibaratnya pulau-pulau lain di sini
(di kepulauan karimun jawa) ndak ada apa-apa nya kalau dibanding sama pulau itu”
Jawab Pak Irfan menggebu-gebu
Aku merasa masih banyak yang ingin Pak Irfan ceritakan
kepada kami, namun seperti tertahan. Mungkin ada rasa takut, atau entahlah,
yang jelas aku masih ingin mendengar ceritanya, tentang sepenggal tanah di
negeri tercinta ini.
“Berapa per malam nya, Pak di pulau itu?” Tanya ku
“Wah jutaan! Di atas dua juta! Wong yang nginep orang orang
bule, harus pesen dari lama kalau mau nginep disitu. Coba yo yang ngelola orang
asli sini, bisa kaya kita! Bisa makmur orang-orang sini. Begini kalo udah punya
orang lain, kita mah ga dapat apa-apa, Mbak. Yang kecil-kecil aja kita
dapatnya.” Kata Pak Irfan
“Sekarang belum makmur yo Pak?” Canda ku sambal mengikuti
logat kental Jawa Tengah nya itu
“Lumayan sih, Mbak. Turis yang bikin dapur ngebul! Turis lokal.
Tapi yo bisa lebih makmur kalo dikelola orang asli sini, Cuma ya itu loh, orang
sini kurang pinter toh Mbak. Kurang bisa ngelola.” Sambung Pak Irfan
“Pengennya mah di kelola orang asli sini ya Pak? Biar berasa
keuntungannya” Pancing ku lagi
“Iya toh Mbak. Pengennya mah putra daerah yang ngurus, Cuma yo
harus pinter dulu.” Jawab Pak Irfan sambil diiringi tawa kecil
Percakapan singkat itu berakhir begitu saja saat kapal telah
melewati pulau “milik asing” yang kaya akan harta karun itu, aku memutar arah
duduk ku kebelakang hingga terlihat pulau tersebut semakin kecil-kecil – kecil dan
akhirnya menghilang.
Kata-kata Pak Irfan terus menggema di otak ku, menggaung,
memantul hingga tak bisa kudengar jelas lagi. Entahah siapa yang salah kalau sudah
begini. Sambil memandang jaket almamater ku yang konon sekolah pariwisata terbaik
se-antero Indonesia, aku pun turut merasa bersalah.
Dimana peran akademisi yang semestinya mengedukasi para
masyarakat yang tinggal di destinasi pariwisata agar pariwisata berperan
sebagai penggerak kemakmuran seperti yang tercantum pada kode etik pariwisata global?
Disisi lain aku pun membela kaum akademisi dengan menyalahkan pemerintah,
dimana peran pemerintah yang semestinya memberikan ruang dan kesempatan untuk
para akademisi pariwisata baik yang muda maupun tua agar bisa bergerak dan
memajukan pariwisata Indonesia?
Meski baru setahun ku ditempa di sekolah pariwisata, jiwa
nasionalis ku melonjak tajam. Namun, disitu aku tersadar, masih sedikit ruang
yang diberikan untuk mahasiswa-mahasiswi kepariwisataan untuk bergerak dan
menumpahkan segala gagasan-gagasan pariwisata yang ada di otak mereka. Sedikit
apresiasi untuk pelajar pariwisata. Kami butuh ruang itu Pak, Bu, untuk berkompetisi
dan berkembang bersama.
Terlepas dari segala hukum, peraturan, dan perizinan.
Pernyataan Pak Irfan telah ku telan mentah-mentah sampai hari ini. Itulah
pernyataan paling jujur dan cerminan kejayaan pariwisata di salah satu
destinasi di Indonesia.
Hasil penelitian ku di Karimun Jawa telah tersusun rapih
dalam lembaran-lembaran pdf. Sang dosen tak menyuruh kami untuk mencetak hasil
penelitian demi keramahan lingkungan (mengurangi pemakaian kertas). Aku
berharap penelitian yang telah ku lakukan bisa berdampak baik bagi perkembangan
pariwisata di Karimun Jawa. Namun, entahlah dibaca sampai tuntas pun aku sudah
senang.
Nilai bagus untuk IPK sudah ku raih berkat penyusunan
laporan yang sesuai degan sistematika. Namun bukan hanya itu yang aku inginkan,
ada hal lain yang lebih dari itu. Aku menjejakan kaki di sekolah pariwisata
bukan hanya untuk pengakuan sebuah gelar atau IPK, tapi keinginanku untuk turut
serta bergerak dalam ruang pembangunan dan pengembangan pariwisata di
Indonesia. Namun sampai sekarang aku belum menemukan pintu untuk memasuki ruang
itu. Mungkin aku masih terlalu muda untuk itu, untuk praktik, mungin masih
hanya sebatas teori-teori didalam buku buku tua berbahasa asing.
Ah aku rasa tulisan ku ini semakin melebar kemana-mana topik
dan pembahasannya. Kembali ke jalur awal mungkin akan menghentikan ku untuk
berbicara lebih jauh.
Dari segala yang kudengar dari Pak Irfan, semakin menguatkan
tekad ku untuk menyusuri setiap atraksi wisata di Indonesia, demi fakta-fakta
lain yang tidak tercetak dibuku sekolah ku. Yang dibutuhkan masyarakat di
destinasi-destinasi pariwisata adalah edukasi dan edukasi! Pendidikan nyata dan
dapat diterapkan dan berdampak langsung bagi kehidupan mereka adalah senjata
terampuh untuk menghentikan kasus-kasus lahan yang dibeli oleh asing seperti
yang terjadi di Karimun Jawa.
Namun, Pak Irfan, Bapak tidak perlu khawatir terlalu lama.
Indonesia akan mencetak akademisi-akademisi baru di bidang pariwisata, banyak
sekolah tinggi, politeknik dan akademi pariwisata yang kini sudah berdiri tegak
yang lulusannya siap menopang dan mengelola pariwisata di Indonesia dengan baik
dan benar. Namun, jika memang tidak berubah….mungkin kita sama-sama tau apa
yang salah….
Silahkan berspekulasi..
Vampires in the Enchanted Castle casino - FilmFileEurope
BalasHapusVampires in bsjeon.net the Enchanted Castle Casino. Vampires in jancasino the Enchanted Castle Casino. Vampires in the Enchanted Castle Casino. Vampires in casinosites.one the Enchanted https://deccasino.com/review/merit-casino/ Castle Casino. Vampires in the Enchanted nba매니아