Pesona Pulau Belitung PART 1

45 menit waktu terbang dari Bandara Internasional Sukarno-Hatta menjadi perjalanan udara yang sayang Anda lewatkan saat pesawat Anda mengarah ke Bandara H.AS. Hanandjoedin Belitung. Bandara yang berstatus hampir internasional ini berbagi lahan dengan Perkasa Flight School.
Saat terbang sekian kaki diatas Pulau Belitung sekitar 15 menit sebelum Anda mendarat, pemandangan berupa puluhan lubang danau bekas tambang timah yang berisi cairan berwarna turquoise, biru tua, hijau lumut sampai coklat siap menempel ke mata Anda dan membuat satu kedipan mata adalah kerugian.
Lihat pakai mata Anda sendiri, kalo difoto ini saya yang salah ngambil sudut gambar, saya yang teknik ngambil gambarnya cupu.


Selanjutnya ada deretan rapih lebih mirip dibilang barisan pohon-pohon kelapa sawit yang berwarna hijau segar. Pemandangan 10 menit ini mampu membuat otak Anda berfikir bahwa Anda sedang berada pada potongan surga yang sengaja diletakan oleh Tuhan di Pulau ini dan hati Anda tidak sanggup mengingkari hal itu.

Bahkan yang lebih ekstrim lagi, lagu Laskar Pelangi milik Nidji mulai berputar-putar diotak Anda, seolah Giring duduk disebelah kursi Anda dan menyanyikan lagu itu tepat didepan kuping Anda. Terlalu ekstrim, namun saya merasakannya sendiri.

Pesawat bertarif rendah yang saya tumpangi mulai menukik tajam lalu sedikit berbelok saya tidak ingat betul kekanan atau kekiri, yang jelas berbelok. Pramugari yang kurus semampai dan berpipi tirus itu mulai mengingatkan para penumpang untuk mengaitkan sabuk pengaman dan melipat meja kecil yang menempel pada kursi penumpang depan.  Saat roda-roda pesawat mulai menyentuh aspal bandara pulau Laskar Pelangi, maskapai yang saya beli jasanya ikut memberikan getaran yang membuat beberapa penumpang merangsek kedepan memastikan punggung mereka tidak menempel dengan kursi berlapis kain beludru itu. Tidak terlalu parah turbulensi yang saya rasakan selama terbang, pun saat mendarat. Semua baik-baik saja, standard dan aman.

Perhatian saya langsung teralihkan pada barisan pesawat Cessna yang terpakir didepan bangunan agak besar yang sampai sekarang saya tidak tau persis bangunan apa itu. Lebih dari 3 cessna terpakir rapih disana, dengan logo yang tidak asing untuk saya, PERKASA FLIGHT SCHOOL. Ah, membuka kenangan lama, saya membatin sendirian. Saya berjalan bukan lurus kearah pintu keluar Bandara H.AS. Hanandjoedin, tapi justru berbelok kearah parkiran pesawat Cessna berwarna putih yang disayapnya tercetak PK-blablabla. Saya tidak ingat jelas 3 alfabet dibelakang identitas PK itu. Yang jelas salah satunya PK-PBP. PapaKilo-PapaBravoPapa.
barisan aircrafts Perkasa Flight School

Belasan calon pilot berkepala botak dengan kulit coklat (pasti gara-gara terbakar matahari) mondar-mandir dibalik pagar besi berwarna silver dengan seragam berwarna merah maroon (Kalau saya tidak salah lihat). Langkah saya terhenti saat laki-laki berseragam biru langit dengan badan tegap tanpa topi dengan logat melayu kental mengucapkan kalimat pertamanya “Dek, ini bukan area umum. Itu pintu keluarnya. Maaf” tegur nya dengan sopan. Tanpa kesal dan kecacatan apapun, saya melempar senyum kearahnya lalu membalikan badan dan akhirnya kembali ke jalan yang benar, “PINTU KELUAR BANDARA”. Terimakasih telah mencegah otak dan hati saya untuk melakukan kegiatan hina, yaitu mengenang masa lalu. Terima kasih Pak Cik.

Bandara H.AS. Hanadjoedin terasa sangat mungil dan kontras jika Anda take off dari Bandara Soekarno-Hatta. Bandara ini tidak terlalu sibuk dan ribut seperti Bandara Soekarno-Hatta ataupun Husein Sastranegara. Jangan takut akan cegatan supir taksi bandara yang akan memaksa Anda memakai jasanya, namun sebaliknya. Anda akan bingung dengan moda transportasi apa yang harus Anda gunakan untuk meninggalkan Bandara mungil ini. Jangan panik, berjalanlah terus kedepan Bandara, mobil-mobil berkapasitas 6 orang dengan plat nomor BK akan berjejer di parkiran bandara, nah mungkin salah satunya akan menawarkan jasa kepada Anda untuk tumpangan yang tidak gratis.

Saya menaiki bus yang telah sedari tadi mejeng di parkiran Bandara, bus berkapasitas 32 orang itu dikendalikan oleh Bapak Tono, seseorang yang karena namanya membuat saya berfikir bahwa beliau adalah imigran dari pulau Jawa. Namun ia membantah tuduhan tak berdasar yang saya lontarkan itu, dengan tenang dan senyumnya ia menjelaskan bahwa ia berasal dari Manggar, salah satu kota di Pulau Belitung ini. Beliau ternyata lahir di Pulau Laskar Pelangi ini. Pak Tono, begitu saya memanggilnya, ia menceritakan tentang betapa ia mengidolakan seorang Andrea Hirata, dengan nada menggebu-gebu beliau sangat ingin menyampaikan terima kasihnya pada penulis cerita dengan rambut agak ikal itu. 

Tempat Bernaung para Penambang Timah di Belitung
Berkat tulisan Andrea Hirata, Pulau Belitung menerima kedatangan wisatawan baik mancanegara ataupun nusantara dalam jumlah yang terus meningkat setiap tahunnya. Lewat tulisan Andrea Hirata pula, Pulau Belitung membangun citra sebagai pulau yang indah dan eksotis tanpa ada embel-embel sejarah mengenai kekomunisan dan segala macam sejarah kelam yang sempat diderita pulau ini.
Jangan harap Anda bertemu dengan kemacetan di pulau ini. Jalanan aspal kehitaman dengan lebar kurang lebih 10 meter akan memfasilitasi perjalanan Anda saat berputar-putar menjelajahi pulau ini. Rumah-rumah beratap seng dan beberapa sudah berkarat akan terus menyapa Anda, akan jarang bahkan sulit menemukan rumah beratapkan genteng. Juga ada masjid dengan seng berwarna biru neon, benar-benar terang dan bersinar dari jauh, mencolok dan akan sangat silau saat Anda melihatnya dari dekat terlebih saat siang bolong, menarik.

Jika Anda berasal dari kota-kota besar di pulau Jawa, terutama daerah Jabodetabek-Bandung, Anda benar-benar akan disuguhkan dengan atmosfer yang berbeda. Kemuakan Anda atas keriuhan dan kesemerawutan hari-hari dengan isu SARA yang kian memanas akan sirna saat Anda menjejakan kaki di Kota Manggar ataupun Tanjung Pandan. Anda akan melihat bocah-bocah sipit berkulit putih turunan negeri China bermain lari-larian sampai tertawa mengakak hingga matanya menutup sempurna dengan bocah-bocah berkulit sawo matang dan bermata belo alias turunan Melayu. Saya berani jamin mereka memiliki agama yang berbeda, bahkan Tuhan atau Dewa yang berbeda, jalan ibadah yang berbeda tapi mereka hidup dalam kerukunan. Toleransi yang begitu tinggi di Pulau Belitung ini, sama halnya dengan Kota Lasem di Jawa Tengah.

Masyarakat disini hidup dan mencari uang dengan mengandalkan timah, pulau yang kaya. Selain timah mereka juga berkebun Lada, harga lada yang selangit saat di ekspor membuat mereka bisa memiliki 3-5 motor perkepala keluarga. Jangan kaget saat Anda mendapatkan jawaban atas pertanyaan “Berapa harga Lada per 2,5 onsnya?” Jawabannya adalah 300-600 ribu rupiah saat diekspor! Rata-rata setiap rumah memiliki pohon lada bahkan kebun lada dibelakang rumah mereka. Selain itu, bekas galian tambang ditumbuhi juga oleh pohon kayu putih dan jambu mete. Benar-benar kaya dan makmur tanah di pulau ini!

Secara umum, harga makanan dan penginapan disini bervariasi, namun tidak semurah Jogja ataupun Karimun Jawa. Penginapan yang saya tumpangi seharga 300.000 rupiah permalam, dengan 3 orang didalamnya, cukup memuaskan. Sarapan pagi 4 sehat 5 hampir sempurna mereka sediakan.
Bus yang saya tumpangi melaju dengan kecepatan 40km/jam, stabil. Sesekali saya melihat anak-anak dengan seragam merah dan putih berjalan beriringan dipinggir jalan beraspal itu, dan itulah saat yang tepat bagi Pak Tono untuk membunyikan klakson bus nya. Namun, Anda tidak akan mendapatkan tatapan sinis dari anak-anak tersebut melainkan lambaian tangan kecil mereka. Saya benar-benar tersentuh. Sesekali saya melempar senyum entah kepada siapa, yang jelas saya bahagia melihat Pulau kecil ini beserta seluruh isinya. Ramah.

Bis ini membawa saya ke Jalan Sriwijaya Nomor.27, Kabupaten Belitung Timur. Inilah tempat legendaris nan terkenal seantero pulau Belitung, saya tidak bilang ini tempat terbaik untuk pengalaman pertama Anda dalam mencicipi kuliner khas di Pulau Belitung. Namun tidak dapat saya ingkari, inilah tempat tujuan utama para wisatawan untuk mencicipi Mie Belitung, begitu kuat citra yang melekat pada warung makan ini. Mie Belitung ATEP (E dibaca seperti Ember).
15-Maret-2017, tanggal yang jatuh di hari Rabu. Itulah pertama kalinya saya mencicipi Mie Belitung di warung Atep. Saya harap bukan yang terakhir kalinya. Meski hari Rabu, jangan harap warung makan ini sepi pengunjung. Saya harus dempet-dempetan dengan 9 orang teman saya dalam 1 meja panjang yang idealnya hanya digunakan oleh 6-7 orang. Itupun saya dapat meja yang berada dipaling dalam, alias diruang paling belakang. Hawa panas dan pengap menyelimuti tubuh saya. Hanya ada kipas angin diruang ini, jangan harapkan ada AC.



Dinding putih gading diwarung makan ini ditempeli beberapa hiasan dinding berornamen khas Tiongkok, persis rumah Emak (Nenek) saya saat 5 tahun yang lalu. Deretan foto keluarga ataupun foto perorangan terbingkai rapih namun sudah memudar untungnya masih cukup jelas menceritakan yang terjadi saat foto itu diambil. Benar-benar seperti rumah tinggal. 

 Kembali ke kulinernya. Jika Anda pernah mencoba mie koclok Cirebon, nah kurang lebih seperti itu rasanya tapi sedikit lebih asin. Bedanya lagi, Mie Belitung ini dikaruniai rasa udang yang lebih kuat beserta rempah yang lebih “berani” daripada mie koclok Cirebon. Selain itu, Mie Belitung ini juga ditaburi dengan beberapa keping kerupuk emping dan potongan timun. Sehingga saya berikan predikat “Rasanya nendang!”. Porsinya tidak terlalu banyak (untuk kadar perut saya). Harga seporsinya hanya Rp.15.000,-. Minuman khas disini adalah es Jeruk Kunci, rasanya benar-benar khas. Beda dengan es lemon. Rasa asamnya segar, campuran gula cair turut melengkapi didasar gelas minuman ini membuat badan Anda akan kembali berenergi dan lebih bersemangat.

Jika Anda berasal dari tanah Sunda yang terkenal atas kelembutan dan tidak biasa akan bentakan ataupun nada bicara yang tinggi, saya peringatkan “Beradaptasilah secepatnya!”. Saat Anda makan di warung makan ini, si pemilik warung makan yang merangkap menjadi pelayan dan koki akan berbicara dengan nada tinggi dan sedikit berteriak. Saya yang memiliki saudara keturunan Belitong Tionghoa tentu sudah terbiasa dengan logat “keras” dan blak-blakan seperti ini. Namun, teman-teman saya yang mayoritas berasal dari keluarga Sunda dan Jawa asli itu terkaget-kaget hingga terpaku saat berhadapan dengan si pemilik warung makan tersebut. Saya tertawa dalam hati, hingga salah satu teman saya yang lahir dan besar di Bandung membuka kekagetannya…

“Tadi urang nanya, dimana tempat nge cas handphone. Eh urang dimarahin. Katanya dia lagi pake colokannya buat rice cooker, jadi urang disuruh nunggu.” Katanya sambil duduk kembali dan dengan mata yang masih menunjukan bahwa ia baru saja mengalami shock-culture.

Saya hanya tersenyum sembari melempar pandang ke arah teman saya yang sama-sama keturunan Cina Hokkian yang ternyata sejak tadi juga memandang kearah saya. Saya rasa ia juga tertawa dalam hatinya. Kami mengerti betul shock-culture yang dialami oleh teman-teman kami yang terbiasa dengan adat Sunda Jawa itu. Sedikit bicara, saya menepuk pundak teman saya yang masih menggulung kabel casan handphone nya..

Dia bukan marah-marah.. Tapi emang nadanya begitu. Nih liat bentar lagi, pasti dia nganter es jeruk kunci pake teriak-teriak. Memang begitu cara mereka bicara, nih ya buktiin omongan gue” Kata saya santai

Hanya butuh 3 menit untuk membuktikan omongan yang saya lontarkan. Seorang ibu berusia sekitar 40 tahunan membawa tray hitam dengan 6 gelas es jeruk kunci diatasnya lalu mulai membuka mulutnya

Siapa ini yang tadi pesan Jeruk Kunci, 6 ya meja ni! Ayo dinikmati ya” Kata beliau dengan logat yang khas lalu ditutup dengan senyum manis, senyum yang tidak akan pernah saya lupakan. Satu senyuman yang mengubah persepsi dan pandangan teman-teman saya tentang watak dan sikap orang-orang berkulit putih dan bermata sipit di warung makan yang sederhana ini. Sekaligus, beberapa menit kemudian enci dengan kaos berwarna hijau tua mempersilahkan teman saya untuk mengecas handphone nya. Akhirnya teman-teman saya mengerti dan beradaptasi. Kami beradaptasi dan tidak ada masalah dengan itu.

Selanjutnya, saya melanjutkan perjalanan ke Dinas Pariwisata Kabupaten Belitung Timur yang juga merangkap menjadi atraksi wisata MENJUNGAK. Jangan bayangkan kantor dinas ini kaku dan hanya penuh oleh dokumen-dokumen membosankan tentang data wisatawan, jumlah hotel, aturan ini itu serta atmosfer formal tingkat dewa. Buang jauh-jauh stereotype tersebut. Nyatanya, kepala dinas pariwisata yang merupakan seorang dokter ini akan menyambut sendiri tamu-tamu yang datang. Seorang wanita berumur 20-an dengan perawakan dan wajah oriental china-belanda-belitung yang merupakan putri pariwisata Belitung Timur juga akan memandu Anda dan menjelaskan tentang isi dari Kantor dinas yang disulap menjadi museum dan art-gallery itu. Namanya Chintya, namun saya dengar bulan ini ia pindah ke Solo. Mungkin Anda akan dipandu oleh yang lain.

Ini si Bonbon! 
Anda akan bertemu dengan buaya yang panjangnya lebih dari 1 meter namun kurang dari 3 meter. Namanya Bonbon. Ia berada dikandang kecil ditengah-tengah Kantor Dinas Pariwisata Belitung Timur. Anda harus berhati-hati saat mendekati kandang Bonbon, sesekali ia mengepakkan badannya untuk berputar membuat air kehijauan dikandangnya bercipratan kemana-mana, bahkan sampai kepintu ruangan pemasaran produk wisata Kabupaten Belitung Timur.


Selain itu, ada juga kura-kura dengan tempurung yang mirip mangkok mie ayam berwarna hijau pekat hampir hitam. Disebelahnya ada kandang Tarsius, yang diklaim sebagai Tarsius terbesar di dunia, mata bulatnya mengingatkan saya pada kelereng ukuran jumbo, menggemaskan. Tarsius itu dipanggil Monmon. Ia sedikit pemalu namun akan datang dengan ekspresi datar saat Anda membawakannya makanan berupa serangga, minta saja pada Chintya atau pemandu Anda, ia akan memberi Anda makanan yang digemari Monmon. 

Selain hewan-hewan unik ini, di kantor dispar ini kalian bisa temukan alat musik dan lagu lagu khas belitung yang dimainkan langsung oleh staff dispar. Ditambah ruangan yang isinya peralatan dan barang barang khas Belitung. Seperti panggung nikahan adat Belitung, baju adat Belitung dan lain lain!
Selama kurang lebih 4 jam kami berada disana, perjalanan dilanjutkan ke hotel! See you in part 2!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kosan di Jerman

Pertanyaan dan saran tes masuk STPB (Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung)

Belanja Murah di Jerman!